Minggu, 11 November 2018

Sang Inspirasi

sang inspirasi

Di suatu Sekolah , ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.
Ketika guru itu menjadi wali kelas seorang anak–salah satu murid di kelasnya– selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini malas, sering terlambat dan selalu mengantuk di kelas. Ketika semua murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab kuis  atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan tangannya.
Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa menyukai anak ini. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini. Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan anak ini.
Suatu hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan raport anak ini pada saat kelas X. Di sana tertulis: “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”
“..Ini pasti salah, ini pasti catatan raport anak lain….,” pikir guru itu sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya raport anak ini.
Di catatan raport kelas X akhir  tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat ibunya yang sakit-sakitan,”
Di kelas XI semester awal, “Sakit ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”
Di kelas XI semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih terpukul dan kehilangan harapan,”
Di catatan raport kelas XII tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini,”
Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam…
Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu  guru kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu  ajarin,”
Untuk pertama kalinya si anak memberikan senyum di wajahnya.
Sejak saat itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh, prepare dan review dia lakukan di bangkunya di kelasnya.
Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si anak untuk pertama kalinya mengacungkan tanganya di kelas. Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh lagi.
Di Kelas XII, guru itu tidak menjadi wali kelas si anak.
Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik sekali seperti Bunda, Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Empat  tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di sana tertulis, “Besok hari wisuda, Saya sangat bahagia mendapat wali kelas seperti Bu Guru waktu kelas XI SMK. Karena Bu Guru lah, saya bisa kembali belajar dan bersyukur saya mendapat beasiswa sekarang untuk melanjutkan sekolah ke Luar Negri.”
Lima  tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Di sana tertulis, “Saya menjadi Pejabat Negara yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu guru dan saya mengerti rasa sakit karena saya pernah dipukul ayah,”
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu guru saya waktu kelas XI. Bu guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang Pejabat negara . Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas XI SMK.”
Setahun kemudian, yang datang adalah surat undangan, di sana tertulis satu baris,
“Mohon duduk di kursi Bunda di pernikahan saya,”
Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar