Tim sosialisasi Anti kenakalan remaja Polsek Jabung di Smk Perintis kamis 04 Oktober 2018 bersama Kanit Binmas Kepolisian Sektor Jabung Bpk. Suprastiyo,SE dan Tim
Minggu, 11 November 2018
RENUNGANKU
Sore sepulang dari sekolah tempatku mengajar aku merenung seorang diri di depan teras rumah, merenungkan tentang segala sesuatu yang telah aku lakukan sebagai seorang guru. Adakah sesuatu yang bisa menginspirasi murid-muridku, akankah ada diantara mereka kelak dua puluh tahun yang akan datang menyampaikan kebanggannya. Bahwa aku adalah sosok inspirasi yang membuat mereka sukses.
Sungguh aku merindukan kelak murid-muridku bukan hanya orang-orang yang sukses secara ekonomi, tapi juga mereka mulia dalam akhlak. Karena itulah yang paling aku mimpikan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada zaman itu, dua puluh tahun yang akan datang, zaman yang aku mungkin telah tiada atau mungkin aku yang sudah mulai tua.
Aku pun tak beraharap kelak ada murid-muridku ada yang mengatakan “mimpi-mipiku hancur karena guru-guruku”. Sungguh aku berlindung kepada Allah dan memohon ampun kepadanya, jika pada waktu yang sudah ku lewati ada kata dan sikap yang menyakitkan dan menyayat hati murid-muridku. Ah, rasanya menyesal diriku jika ku ingat dulu aku pernah membentak di antara murid-muridku, memukul meja, berteriak dengan kecang di dalam kelas, karena ketidak sabaranku dalam mendidik mereka.
Aku pun tidak berharap kelak ketika aku sedang berjalan, berpapasan dengan murid-muridku, mereka tidak menyapaku. Mungkin karena kesalahanku dimasa lalu bahwa aku tidak pernah menyapa mereka, saat-saat mereka sedang berada di bangku sekolah. Atau karena aku tidak pernah memperhatikan mereka saat mereka butuh perhatian dari seorang guru seperti diriku
Kelak ketika mereka sudah lulus sekolah, sungguh tak ingin ku mendengar mereka tertawa dengan riangnya, karena mentertawakan kebodohonku sebagai guru. Aku tak ingin dikenang sebagai sosok guru yang tidak bersahabat bagi mereka, tidak berwibawa, membosankan, tidak asyik dan segala cap jelek yang lainnya.
Tak ingin mejadi sosok yang tidak instinewa bagi murid-muridku, mulai saat ini aku bertekad menguatkan diri untuk terus mengasah diri untuk menjadi guru inspiratif bagi murid-muridku. yaitu guru yang kata-kata serta perilakunya bisa diteladani.
Sang Inspirasi
sang inspirasi
Di suatu Sekolah , ada
seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan
sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.
Ketika guru itu menjadi wali kelas seorang anak–salah
satu murid di kelasnya– selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini
malas, sering terlambat dan selalu mengantuk di kelas. Ketika semua murid yang
lain mengacungkan tangan untuk menjawab kuis
atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan
tangannya.
Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa
menyukai anak ini. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan
antipati terhadap anak ini. Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa
adanya mengenai keburukan anak ini.
Suatu hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan
raport anak ini pada saat kelas X. Di sana tertulis: “Ceria, menyukai
teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya
penuh harapan,”
“..Ini pasti salah, ini pasti catatan raport anak
lain….,” pikir guru itu sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya raport
anak ini.
Di catatan raport kelas X akhir tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena
harus merawat ibunya yang sakit-sakitan,”
Di kelas XI semester awal, “Sakit ibunya nampaknya
semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”
Di kelas XI semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini
sangat sedih terpukul dan kehilangan harapan,”
Di catatan raport kelas XII tertulis, “Ayahnya
seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan
kepada anak ini,”
Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba
menyesakkan dada. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap
memberi label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang
bertahan dari nestapa yang begitu dalam…
Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”
Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”
Untuk pertama kalinya si anak memberikan senyum di
wajahnya.
Sejak saat itu, si anak belajar dengan
sungguh-sungguh, prepare dan review dia lakukan di bangkunya di kelasnya.
Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira
ketika si anak untuk pertama kalinya mengacungkan tanganya di kelas.
Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh lagi.
Di Kelas XII, guru itu tidak menjadi wali kelas si
anak.
Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar
kartu dari si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik sekali seperti Bunda, Bu
guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Empat tahun
kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di sana tertulis,
“Besok hari wisuda, Saya sangat bahagia mendapat wali kelas seperti Bu Guru
waktu kelas XI SMK. Karena Bu Guru lah, saya bisa kembali belajar dan bersyukur
saya mendapat beasiswa sekarang untuk melanjutkan sekolah ke Luar Negri.”
Lima tahun
berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Di sana tertulis, “Saya
menjadi Pejabat Negara yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya
mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu guru dan saya mengerti rasa
sakit karena saya pernah dipukul ayah,”
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu
ingat Ibu guru saya waktu kelas XI. Bu guru seperti dikirim Tuhan untuk
menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah
dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang Pejabat negara . Tetapi guru
terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas XI SMK.”
Setahun kemudian, yang datang adalah surat undangan,
di sana tertulis satu baris,
“Mohon duduk di kursi Bunda di pernikahan saya,”
Guru pun tak kuasa
menahan tangis haru dan bahagiaSabtu, 23 Juni 2018
Jumat, 20 April 2018
Langganan:
Postingan (Atom)